KISAH KURANG SATU HARI
Kaki berjalan lambat, dada membusung
dan matapun sudah tak mampu menengadahkan kepala. Itulah diantara pengorbanan
bagi pemuda kuliahan yang mengerjakan skripsinya tanpa memiliki perlengkapan
yang memadai. Tanpa sengaja matanya melihat warna tulisan kecil dari kejauhan.
Beranjak dihampiri dan dibaca sepotong demi sepotong kata-katanya. Tak
dihiraukan orang berlalu lalang dan orang memandanginya bahkan suara besar
memanggil namanya pun dilewatkan tanpa balasan sapa. Dia fokus terhadap
penggumuman lomba HMJ PBA tentang bikin cerpen. Hal ini menarik dan
membangkitkan kegemarannya menulis cerita dulu. Dalam otaknya hanya terbanyang
secarik karyanya disentuh dan dicintai jiwa peseni sebagai tetesan awal
pengembang sayap kreativitas hidup, jika menang.
Dia pun pulang membawa harapan dan
tujuan untuk menang, yang diingin bukan suatu janji yang membikin mati semangat
dan hasrat untuk menjadi sang juara. Dalam segala aktivitas bergonta-ganti
pikiran menghampiri. “Kau angkat masalah percintaan aja! Pemuda lebih
bergairah.” Bisikan pikiran kotornya. Pemuda pun berpaling. Datang lagi pikiran baru “Angkat saja kritikan-kritikan
menderu!” Sejenak rehatnya pemuda, terkikis ide tersebut dengan alasan terlalu
banyak lingkungan mengkritik, lingkungan membangun tak lebih terlihat dari
kebersamaan semut kecil. Eh ... tak lama sang pikiran memunculkan pendapat
”Kalau begitu persahabatan dan cinta lebih bagus.” andai engkau tahu kegalauan
yang dihadapi sang pemudaberfikir, pastilah kau merasa emosi tercampur dalam
menggambarkannya. Sinap yang dilaluinya selalu berhasil tetapi berusaha
dimuntahkan lagi seperti merasa tak peduli terhadap ide pikiran.
Baginya
menyetujui pikiran tentang judul persahabatan dan cinta terlalu membinggungkan,
apalagi ia sering menerima layaknya doktrin tentang sahabat selamanya dari
segelintir mulut. ”Apa artinya sahabat selamanya? Bagaimana menjadi sahabat selamanya? Adakah
hubungan antara sahabat dan cinta?” Pertanyaan pemuda tak mendapat jawaban yang
menenangkan hati. Kata sang mulut
“Kau jalani saja, nanti kau akan mengerti sendiri melalui aku!” Sungguh jawaban
yang tak jelas dan memerlukan kesabaran menghadapinya. Dia berbisik
”Pertanyaanku terlalu bodoh ya?”
Pemuda
pun cari jawaban dan memilah dalam hati, seiring berbagai sikap dan kata si
mulut dan mulut-mulut lainnya bergulir.”Apakah sahabat selamanya itu berisikan
janji-janji? Atau ... penuh cinta dan
tipu daya menyenangkan raut sendiri? Atau ... penuh pengorbanan, kebahagiaan
dan merusak ketenangan hati? Atau ... hanya untuk teman curhat, minta tolong
(dimintai) dan ingin memiliki sepenuhnya?” Itulah segelintir tanya pemuda itu.
Masih banyak kumpulan lembar pertanyaan tentang sahabat selamanya yang masih
tersembunyi untuk diutarakan, sampai-sampai ia berfikir sahabat selamanya itu
mustahil baginya.
Itulah
alasan penolakan pemilihan judul sahabat dan cinta sebagai tema dari tulisan.
Keras berfikir, otak pun diperas sesekali mengolak alik kertas skripsi yang
banyak warna merah akibat coretan konsultasi dosen pembimbing. ”Aduh ... capek
aku” rintihnya dengan intonasi memelas. Dia berjalan menuju tempat
diletakkannya remot sambil duduk diatas karpet merah yang ditekuk, dilipat
persegi empat. Sambil menekan tombol-tombol, ditemani selimut bergaris hitam
penepis dingin malam. Suara nyanyian TV mengalun-alun berkolaborasi dengan
binatang malam, timbullah harmoni pertunjukan merdu yang merasuk ketelinga dan
menutupkan kelopak mata secara perlahan. Ia pun terlelap dalam kondisi masih
membawa tema judul yang belum terpecahkan.
Malam
sunyi tak terdengar obrolan binatang malam, bahkan suara TV mati karena suatu
pengaturan. Terlihat sebuah cahaya mimpi padang redup, ternyata jiwanya terbawa
kealam mimpi yang tak nyata, yang mungkin bisa dimasuki dirinya sendiri tanpa
bisa mengajak jiwa lain. Dalam mimpi ia melihat lawan jenisnya, seorang wanita
simpel berkerudung, kelopak mata dan wajah indah dengan senyum suara
menentramkan hati. Ketertarikan membuat ia lebih mendekat, sambil berbincang
terlihat jari manis sudah terpasang milik lain. Dengan nada perlawanan ia
berkata ”Cinta tak harus memiliki, itu salah!” Hal itu terucap juga puluhan
kali di hati, ia beranggapan cintanya sudah termiliki di hati. Mencintai
seseorang tak harus miliki fisik dan hati, baginya cukup makna cinta dalam
kedamaian. Melihat cinta idaman mekar, merupakan anugrah kebahagiaan cinta yang
sudah dimiliki. Pemuda berusaha menjauh, tak ingin terjebak cinta gila yang
mengalahkan kasih sayang dan akalnya. ”Aku tahu diri, andai dunia terpenuhi
wanita seperti dia. Sholeha, pintar dan penuh kasih sayang pada insan dan
semua, akan banyak terlahir insan bermutu dari rahim dan tutur sikapnya.”
Pemuda kemudian duduk dibangku coklat dengan si mulut (sahabatnya), ia
bercerita padanya sambil memperlihatkan sesuatu yang berharga ”Jangan kau ambil
ini!” Tiba-tiba si mulut dengan liciknya mengelabuhi pemuda dan mencuri yang
berharga. Pemuda berkata ”Jangan kau ambil, ini milikku” si mulut tak peduli.
Terus
berkata ”Jangan kau ambil! ... jangan kau ambil! ...” akirnya terbangun,
dilihat waktu masuki sepertiga malam. Ia lalu duduk diatas karpet lusuh
menghadap bayangan diri pantulan cermin. Dimalam itu hati bergejolak sesunyi
dan sesepi alam tak bersuara. Akhirnya terdengar bunyi suaranya memecah malam
”Apa artinya itu? Berhubungankah dengan hidup duniaku?”kejadian ini melupakan
sejenak pencarian tema judul lomba cerpen.
Tiba-tiba
ia melihat perutnya sobek, keluarlah kepala dari perutnya lalu masuk cermin.
Dengan nada takut, entah itu nyata atau hanya imajinasi pikiran tengahnya, ia
tak sanggup membedakannya. ”Sisi ...siapp ... siappa kau?” pemuda bertanya
sambil menunjuk cermin dengan gerak badan mundur posisi duduk. Terlihatlah ia
merasa ketakutan. ”Aku adalah kamu” terlihat dicermin itu mata tajam nan
intonasi tegas. Pemuda merasa tak nyaman, badan bergetar disudut tembok sudah
tak bisa lagi bergerak. Pemuda mencoba meraih lipatan karpet merah untuk
menutupi dirinya. ”Kau terlalu penakut ... sangat penakut” suar cermin mengema.
”Ka ... kkaaauuuu bukanlah aku, aku adalah aku dan kau adalah kau” sangkalan
pemuda. ”Terlalu bimbang, terlalu cepat berkesimpulan pada smua” karna pemuda
hanya diam, cermin menambahkan ”Lihat! Dunia dan isinya, dibangun dengan
keteguhan cinta, maka bangun dirimu dengannya! Keberhasilan dan kebahagiaan
akan menghampiri dan kau akan dimanjakan olehnya.”
Berjalanlah
tiap detik, belum mencapai menit pertama pemuda mencoba membelot ”Kau tak tahu
yang kulalui, mudah bagimu berucap” Dengan bijak dan agak menyindir cermin
bersuara ”Terlihat orang gagal tak mampu bertempur, hanya mencari alasan
melindungi diri dalam keruntuhan yang tak mau disalahkan.” pemuda dengan cepat
berdiri dan meninju cermin ”Dasar sok tau” terdengar bunyi ”Pruakkk ... pyakkk
...” cermin pecah, ambyar kemana-mana.
Tangan
pemuda terluka kecil akibat tinjuannya pada cermin. Ia terlihat marah, beberapa
saat berubah wajahnya suram sedih sambil perlahan duduk disekitar pecahan kaca.
”Apa yang terjadi dikepalaku?” dengan menjatuhkan air mata berulang-ulang,
rebahlah badannya dilantai penuh pecahan kaca dan tertidurlah.
Pagi
harinya pemuda bangun tak bergairah, memori pikirannya dipenuhi mimpi yang
mengambarkan kenyataan hidup sudah dilalui. Ia memotivasi dirinya sendiri untuk
bangkit bahwa ia mampu menghadapi tantangan hidupnya. Berjalan ia menuju kamar
mandi dan menguyur tubuhnya dari atas kepala, berharap bebannya rontok bersama
mengalirnya air.
Suntikan
motivasi diri menjadi obat luka psikisnya. Pemuda teringat ”Oh iya, aku belum
memiliki tema judul untuk lomba cerpen nanti.” Akhirnya diambil pensil dan dijalankan
ujungnya untuk memberi abjad bermakna pada kertas putih. ”Alangkah baiknya
kutulis kisahku kurang satu hari, mungkin menarik.” ucapan pemuda penuh nada
semangat. Ayunan mata pensil semakin merajalela mendampingi imajinasi dan
ingatannya. Melalui kisah kurang satu hari, ia mencurahkan kepada semua bahwa
masih menunggu sesuatu berharga yang belum tersingkap dalam kehidupan ini dan
kita harus membukanya sendiri agar semakin yakin tentang kebesaran Illahi yaitu
melalui kecintaan pada apa yang kita lakukan. Sering kita harus bertempur,
bersaing, diserang, atau mempertahankan diri, yang pasti keyakinan kita selalu
dalam kebenaran dan kebaikan. Pemuda pun menambahkan dalam cerpennya agar kita
hindari terlalu banyak mengobral janji walau dalam peran apapun.terutama
persahabatan dan cinta. Sebagian besar obralan janji yang tidak terealisasi dapat
melemahkan semangat, timbul kekecewaan dan menumbuhkan ketergantungan dalam
penantiannya serta menghidupkan kebencian untuk menjatuhkan. Maka munculah
benih anarkis yang tak sedap dipandang mata dan hati.
Itulah
coretan kisah kurang satu hari, kisah yang berjalan tak kurang dan tak mencapai
24 jam lamanya. Setelah selesai menulisnya hati dan jiwanya sedikit merasa
kenyamanan dan ia siap mendaftarkan cerpenya.